Cari Blog Ini

Jumat, 23 September 2011

Pembenihan Vannamei


Pendahuluan

Udang merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan dalam program revitalisasi perikanan. Pada awalnya jenis udang yang dibudidayakan di air payau adalah udang windu, pemerintah kemudian mengintroduksi udang vannamei untuk membangkitkan kembali usaha perudangan di Indonesia dan dalam rangka diversifikasi komoditas perikanan (Hendrajat dkk, 2007).
Permintaan udang yang semakin meningkat dapat dilihat dari volume ekspor udang Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 63,3 % dari total nilai ekspor hasil perikanan Indonesia sebesar USD 2,34 miliar. Untuk mencapai target produksi udang sebesar 540.000 ton, diperlukan induk sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 milyar ekor.  Melalui manajemen budidaya yang lebih baik  ditargetkan  produksinya dapat meningkat sebesar 17,38% per tahun, yaitu: 275 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 500 ribu ton tahun 2014 (PSDKP Kendari, 2010).

Persiapan

         Persiapan bak pemeliharaan larva dilakukan dengan cara mencuci bak tahap I menggunakan larutan detergen dan kaporit, kemudian dibilas dan dikeringkan.  Selama proses pengeringan dilakukan fungigasi pada ruangan dan bak pemeliharaan larva 2-3 hari sebelum penebaran naupli. Satu hari sebelum penebaran naupli dilakukan pencucian bak tahap II menggunakan larutan vircon aquatic. Hal ini sesuai dengan pendapat FAO (2005), bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharan larva dibersihkan menggunakan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak.
          Sebelum digunakan, instalasi aerasi dibersihkan menggunakan larutan detergen dan kaporit yang digunakan pada proses pencucian bak. Setelah dicuci, selang aerasi dan batu aerasi direndam dalam larutan formalin selama 24 jam, sedangkan batu pemberat langsung dijemur hingga kering. Sebelum dipasang, selang aerasi direndam dalam larutan formalin. Jarak antar titik aerasi adalah 40 cm dengan jumlah titik aerasi pada modul A 88 titik dan 112 titik pada modul B. 
          Pengisian air laut dilakukan satu hari sebelum penebaran naupli dengan volume 40-60% dari kapasitas total. Air laut disterilisasi menggunakan chlorin 15 ppm. Air dinetralisasi menggunakan Natrium thiosulfat 7 ppm. Penebaran naupli dilakukan pada siang hari dengan kepadatan 100 ekor per liter. Sebelum dilakukan penebaran, ember yang berisi naupli dicelupkan dalam larutam trefflan 200 ppm, kemudian dilakukan proses aklimatisasi.
         
          Pemeliharaan
          Kegiatan pemeliharaan larva dibagi menjadi dua fase. Pada proses pergantian fase dilakukan transfer larva yaitu pada saat larva memasuki stadia PL4. Pakan yang diberikan larva udang vannamei berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang diberikan berupa Thallasiosirra, Chaetoserros, dan Skeletonema (Fitoplankton) serta artemia (Zooplankton). Hal ini sesuai dengan Edhy dkk (2003), beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah skeletonema, tatraselmis, dan Chaetoserros. Sedangkan Harefa (2003), menyatakan naupi artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Penyediaan pakan alami jenis fitoplankton dilakukan dengan cara kultur skala laboratorium, intermediet, dan massal.  Pakan algae dierikan pada stadia N5-6 hingga PL1. Frekuensi pemberian algae disesuaikan dengan ketersediaan algae pada media pemeliharaan, untuk itu dilakukan penghitungan sisa algae yang terdapat dalam media pemeliharaan. Algae diberikan dengan cara mentransfer algae dari bak skala massal menuju bak pemeliharaan larva. Penyediaan artemia dilakukan dengan cara kultur tanpa dekapsulasi dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari yaitu pukul 09.00, 15.00, dan 21.00 WIB.
          Pakan yang diberikan berupa pakan serbuk, cair, dan flake dan diberikan pada saat larva memasuki stadia zoea1. Jenis pakan buatan yang digunakan yaitu Microparticulado, Microfine Spirulina, Nossan, Flake Negro,  Lancy Shrimp MPL, Epifeed, Frippak, Tzu-Feng Shrimp Flake, Royal Seafood, dan Epiball. Frekuensi pemberian pakan buatan sebanyak 8 kali sehari yaitu pukul 07.00, 11.00, 13.00, 17.00, 19.00, 23.00, 01.00, dan 04.00 WIB dengan dosis pakan yang selalu meningkat seiring meningkatnya umur larva. Selain itu,  juga diberikan bahan-bahan pendukung berupa  Essen Ce, Geno ALA, Vitamin C, dan Chitozan.
          Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan memonitoring parameter kualitas air dan melakukan pergantian air. Parameter kualitas air yang diukur yaitu suhu, DO, salinitas, pH, nitrit, amonium, dan total bakteri yang dilakukan setiap hari kecuali nitrit dan amonium (saat pergantian stadia). Pergantian air dilakukan saat larva memsuki stadia mysis 3 sampai dengan panen. Semakin bertambah tingkatan stadia semakin besar presentase pergantian air yaitu pada stadia M3 sebesar 10% sampai dengan stadia PL10 sebesar 50%. Pada stadia PL4 presentase sebesar 100% karena pada saat itu dilakukan transfer larva. Hal ini sesuai dengan FAO (2007), untuk menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva, harus dilakukan pengelolaan air yang baik. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Selain itu, diberikan juga probiotik dan kapur tani untuk menekan infeksi dan penyebaran bakteri patogen (probiotik) serta untuk menjaga kestabilan pH (kaptan).

          Jenis penyakit yang menyerang larva selama proses pemeliharaan yaitu vorticella, jamur merah, dan necrosis. Pencegahan yang dilakukan agar tidak terjadi kontaminasi terhadap penyakit yaitu dengan melakukan treatmen air media menggunakan EDTA dan trefflan, penerapan teknologi biosecurity, penyemprotan larutan formalin, penyiraman kaporit pada lantai ruang pemeliharaan, dan fungigasi.
          Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan larva dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan cara visual untuk mengetahui kondisi tubuh larva, sisa pakan, dan kotoran. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk mengetahui morfologi tubuh larva, keberadaan parasit dan patogen, serta menilai kondisi kesehatan tubuh larva (Scoring Health Larvae).  Penilaian kesehatan larva meliputi presentase isi usus, presentase cadangan lemak (lipid doplet),  Bolitas HP, Bolitas GI, ada tidaknya penempelan pada tubuh larva (Epibion), ada tidaknya luka pada tubuh larva (Necrosis), pigmentasi, dan Good Muscle Ratio/GMR (Perbandingan antara otot dengan usus).

          Panen

          Pemanenan dilakukan pada saat larva memasuki stadia PL10, tetapi hal tersebut dapat berubah sesuai dengan permitaan konsumen. Hal ini sependapat dengan Wyban dan Sweeney (1991), yang menyatakan normalnya pemanenan benur udang dilakukan pada saat mencapai stadia PL8 sampai dengan PL10. Benur yang dipanen harus mencapai panjang minimal 8 mm, gerakan aktif dan melawan arus, responsif, dan lulus uji stress. Waktu untuk melakukan pemanenan disesuaikan dengan permintaan konsumen dan jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mendistribusikan benur. 
          Pengepakan benur dilakukan menggunakan kantong plastik ukuran 50x20 cm dengan perbandingan O2 dan air yaitu 1:1. Pada tiap plastik packing diberi karbonaktif sebanyak    10-20 granule. Plastik tersebut diikat dan dikemas dalam styrofoam dengan kapasitas10 plastik per styrofoam, kemudian styrofoam diberi es batu. Kepadatan benur dalam plastik disesuaikan dengan stadia benur dan lamanya waktu pengiriman. Biasanya pada pemanenan stadia PL10 berkisar antara 2000-4000 ekor benur dengan lama waktu pengiriman 1-4 jam. Benur dijual seharga Rp 28 per ekor.

Semoga bermanfaat :)

           

Senin, 19 September 2011

Penyakit Udang


 PENYAKIT UDANG:


           Pendahuluan 
Salah satu faktor penyebab kegagalan dalam budidaya udang di tambak adalah karena serangan penyakit. Serangan penyakit yang paling berbahaya dan banyak menimbulkan kerugian bagi petambak adalah karena serangan virus (WSSV, TSV, YHD, IMNV, IHHNV). Serangan penyakit baru pada udang yang banyak menimbulkan kerugian bagi petambak di Indonesia antara lain:
        < th 1990 : penyakit bakterial (insang merah, kunang-kunang)
        Th 1989 : serangan MBV (Monodon Baculovirus), kunang-kunang
        Th 1994 : serangan WSSV,
        Th 2003 : serangan TSV,
        Th 2006 : serangan IMNV, Mati Pelan-pelan
  Hingga saat ini penyakit masih dianggap sebagai penyebab kegagalan terbesar dalam budidaya udang di tambak. Keberhasilan dalam budidaya udang sangat tergantung pada 5 faktor yaitu :
        Daya dukung tambak dan lingkungannya
        Kualitas benur yang ditebar
        Manajemen dasar tambak dan kualitas air
        Kualitas pakan dan manajemen pakan
        Manajemen kesehatan udang dan pengendalian hama penyakit
             Penyebab kegagalan di tambak secara umum disebabkan oleh:
        Serangan penyakit
        Penurunan kualitas lingkungan
        Kualitas benur
        Manajemen budidaya yang tidak tepat
Definisi
Penyakit didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari suatu kondisi normal karena beberapa penyebab.
Terbagi menjadi 2 kelompok penyebab yaitu :
       Penyakit Internal
       Penyakit Eksternal.
Penyebab Internal :
                    Genetik
                    sekresi internal
                    Imunodefisiensi
                    saraf
                    metabolik
Penyebab Eksternal :
                       Non Patogen
                       Patogen
Penyakit Non-patogen
            Disebabkan oleh faktor lingkungan
       Suhu, (cuaca), plankton dan kualitas air lainnya (pH, zat beracun, kelarutan gas)
       Keracunan oleh biotoxin dari plankton (Bluegreen algae dan atau dinoflagellata).
            Disebabkan oleh nutrisi
       Kekurangan nutrisi (vitamin, mineral, as lemak tak jenuh, dll)
       Gejala keracunan pakan.
           Soft shell syndrome
  Penyebab :
       Kualitas air : goncangan salinitas tinggi, goncangan pH tinggi, alkalinitas rendah, kandungan fosfat rendah, dasar tambak terlalu kotor, polusi.
       Kualitas pakan (kekurangan nutrisi tertentu)
Penanganan :
       Perbaiki kualitas air (ganti air, probiotik, dolomite, SP-36)
       Pembersihan dasar dengan sifon, pemberian zeolite dan probiotik)
         Insang hitam
(black gill disease)
Penyebab :
       Kotoran, bahan organik (lumpur) yang melekat pada insang.
       Dasar tambak kotor, setting aerator tidak tepat.
       Kualit air yang tidak stabil (sering terjadi kematian plankton)
Penanganan :
       Ganti air secukupnya
       Berikan probiotik
       Perbaiki setting kincir
       Kurangi pakan
           Red disease
Udang berwarna kemerahan, kaki dan ekor  kemerahan, insang kemerahan.
Penyebab :
       Kualitas air yang kurang baik (DO rendah, NH3, NO2-, Fe), bahan organik terlalu tinggi,
       Kualitas pakan kurang baik (terlalu lama, berjamur)
Penanganan :
       Berikan pakan berkualitas baik (baru)
       Perbaiki kualitas air
           Kram (cramped tail disease)
Udang kram saat anco diangkat atau udang dijala, udang mudah stress
Penyebab :
       Goncangan suhu / salinitas tinggi
       Perbedaan suhu (kualitas air antara dasar dan permukaan tinggi)
       Kekurangan mineral tertentu.
Penanganan :
       Operasikan kincir siang dan malam hari
       Berikan vitamin (terutama vit C dan B)
       Berikan mineral melalui pakan.
Emboli (Gas bubble disease)
Karena kelarutan gas dalam air lewat jenuh baik gas Nitrogen atau Oksigen
Bila karena Oksigen tidak menimbulkan kematian, tetapi bila karena N2, dapat menyebabkan kematian. 
           Bercak hitam pada kulit
Ada bercak hitam pada permukaan kulit, bekas luka
Penyebab :
       Udang sering lompat (tumburan) karena terlalu padat, kualitas air kurang baik, suspensi tanah
       Infeksi bakteri.
Penanganan :
       Perbaiki kualitas air
       Hidupkan kincir siang-malam
       Kurangi kepadatan
       Lapisi tambak dengan plastik/HDPE, atau disemen
           Toksin
Sumber pencemaran dari lingkungan : pestisida, herbisida, insektisida, logam berat,
Dari pakan : aflatoksin (dari pakan rusak atau kedaluwarsa)
Biotoxin : dari algae (blue green algae dan dinoflagellata).
           Udang pucat (putih keruh),
kebiruan
Udang putih polos, pucat atau kebiruan
Penyebab :
                    Suspensi tanah tinggi
                    Kurang oksigen
Penanganan :
                    Lapisi tambak dengan semen atau plastik HDPE atau pasir
                    Kurangi padat penebaran.
           Penyakit patogen
Bersifat parasit dan terdiri atas 4 kelompok :
                      Penyakit viral
                      Penyakit bakterial
                      Penyakit jamur
                      Penyakit parasitik
Karakteristik penyakit infeksi pada udang/ikan
     Udang/ikan merupakan hewan air yang selalu bersentuhan dengan lingkungan perairan sehingga mudah terinfeksi patogen melalui air.
     Pada budidaya udang/ikan, air tidak hanya sebagai tempat hidup ikan tetapi juga sebagai perantara bagi patogen.

           Penyakit Viral pada Udang
            IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus)
            TSV     (Taura Syndrome Virus)
            WSSV (White Spot Syndrome virus)
            YHV    (Yellow Head Virus)
            HPV    (Hepatopancreatic Parvovirus)
            MBV    (Monodon Baculovirus)
            IMNV   (Infectious Myo Necrosis Virus)
            PvNV / Nodavirus (Penaeus vannamei Nodavirus)
                          BMN    (Baculoviral Midgut gland necrosis)
                          LPV     (Lymphoidal Parvo-like Virus)
                          LOVV  (Lymphoid Organ Vaccuolization Virus)
                          LOSV  (Lymphoid Organ Spheroid Virus)
                          REO    (REO III dan REO IV)
                          RPS     (Rhabdovirus of Penaid Shrimp)
                          MoV     (Moyrillyan Virus)
                          BP       (Baculovirus Penaid)
                          IRDO     (Shrimp Iridovirus)

           IHHNV
Virus menyebabkan pertumbuhan  terhambat, sehingga terjadi perbedaan ukuran yang nyata dalam satu populasi Serangan bisa mencapai > 30% populasi). Multi infeksi dengan virus jenis lain. Banyak terjadi pada tambak yang menggunakan benur non SPF (induk lokal) Inang: Penaeus stylirostris, P. vannamei, P. occidentalis, P. californiensis, P. monodon, P. semisulcatus, and P. japonicus.
          Histopatologis udang yang terinfeksi IHHNV
          TSV (Taura Syndrome Virus) 
Penyebab : virus taura (TSV) Inang : P.monodon, Fa.aztecus, Fa.duoderum, Fe.merguiensis, L.setiferus,L.stylirostris, L.vannamei Merupakan penyakit import (dari negara asal udang vaname Ujung ekor berwarna merah (warna ganda), disertai dengan adanya bercak hitam pada kulit, kulit lembek (lunak/keropos) Disertai kematian secara bertahap atau massal.
          Perlakuan Bila sudah terdeteksi TSV
Umumnya penyakit viral tidak ada obatnya
Hanya bisa dicegah/diperlakukan dengan cara :
        Hindari stress,
        Jangan lakukan ganti air (sirkulasi),
        Gunakan probiotik untuk memperbaiki kualitas air.
        Kurangi pakan hingga 50%,
        Berikan mineral, dolomite untuk mempercepat pengerasan kulit,
        Berikan vitamin dan imunostimulan.
        Udang dalam proses penyembuhan akan tampak bercak hitam, dan akan hilang setelah beberapa kali moulting.
        Bila sembuh bersifat carrier.
          TSV (Taura Syndrome Virus)
          WSSV (White Spots Syndrome Virus)
Organ sasaran: midgut, jaringan ectodermal Inang : Crustacea secara umum (bangsa udang dan kepiting).
Tanda-tanda klinis :
             Diawali dengan nafsu makan yang tinggi (saat awal menyerang th 1994), selanjutnya tidak mau makan.
             Terdapat udang yang minggir ke pematang
             Ada kematian di dasar, dalam waktu 3 - 7 hari udang habis
             Terdapat bintik-bintik putih di carapace.
         Tanda klinis infeksi WSSV
           WSSV
          Histopatologis Inclussion body intranuclear pada organ stomach
         BP (Baculovirus Penaid) 
 Organ yang diserang hepatopancreas Inang : P. duorarum, P. aztecus, Trachypeanaeus similis, P. marginatus, P. vannamei, P. penicillatus, P. schmitti, P. paulensis, P. subtilis dan P. setiferus Sangat mematikan terutama pada tingkat hatchery Sedangkan pada pembesaran bersifat subacute atau chronis. Udang yang terserang nafsu makannya turun dan pertumbuhannya lambat.
          HPV (Hepatopancreatic Parvovirus)
          MBV (Monodon Baculovirus)
Awalnya, tahun 1988-1990 merupakan penyakit yang sangat mematikan untuk udang windu. Selanjutnya, menyebabkan pertumbuhan udang lambat. Organ yang diserang adalah hepatopancreas. Hepatopancreas  pucat, menyusut, memadat.
          Histologi organ HP yang terserang MBV
          YHD (Yellow Head  Disease)
Penyebab : Virus Yellow Head (YHV) Inang definitif: P. monodon; Palaemon styliferus dan Acetes (kerier); P. merguiensis dan Metapenaeus ensis, P. vannamei, P. setiferus, P. aztecus, , dan P. duodarum (experimental) Organ sasaran: lymphoid organ, hemolimph Tanda-tanda klinis : Bagian kepala berwarna kuning, hepatopancreas kuning, usus kosong / tidak makan dan disertai kematian masal. Dalam 3 hari kematian mencapai 100%.
          Histopatologis infeksi YHV
          Infectious Myonecrosis Virus (IMNV)
Ditemukan di Brazil 2002 


Gejala klinis: 
       daging berwarna putih opaque
       bagian ekor disertai warna kemerahan à udang rebus
             Kematian akut 40-60%
             Wabah terjadi:
       stress fisik (panen)
       stress lingkungan (suhu, salinitas) 
             Diagnosa: gejala klinis, histologi & RT-PCR

          Nekrosis Otot / Myo (IMNV)
                       Penyebaran penyakit di Indonesia:
                   Terdeteksi di Indonesia ( Situbondo, Jawa Timur) akhir Mei 2006
                   Penyakit menyerang pada udang besar berumur 60 – 80 hari
                   Kematian awal 7 – 15 ekor / hari
                   Kepadatan tebar 130-170 ekor/m2
                   Semua sampel tambak yang diambil tanpa tandon
                   Sebagian besar tambak yang diambil sampelnya panen awal yaitu pada sekitar 90 hari dengan produksi 5,5 – 6,5 ton/petak dengan size 80 – 86

          Pencegahan / Penanganan Kasus Mio
             Yang harus diperhatikan :
        Biasanya nafsu makan tetap tinggi, ada kematian secara bertahap. Pakan di anco selalu habis. Tetapi lama-lama cenderung turun/lambat karena ada pengurangan populasi.
             Penanganan :
        Bangkai udang harus diambil / dibersihkan tiap hari dari dalam tambak. Bangkai dikubur atau dibakar.
        Turunkan pakan hingga 30 – 40% dari keadaan normal hingga kematian tidak ada (sedikit).
        Berikan vitamin C dan imunostimulan secara terus menerus hingga kondisi udand normal (tidak ada kematian)
        Kembalikan konsumsi pakan setelah kematian berhenti.
        Jaga / perbaiki kualitas air, hindari pergantian air secara drastis.
         Pemicu kasus Myo
             Myo sering kali tidak terdeteksi ketika masih benur. Hingga saat ini, belum pernah ditemukan sample benur positif Myo (keterangan dari para pemeriksa / lab).
             Munculnya myo berdasarkan pengalaman dan pemantauan para teknisi dipicu oleh antara lain: